Opini – SELAMAT kepada Penjabat (Pj) Gubernur Aceh yang telah diberi amanah oleh Presiden Republik Indonesia.
Dalam pasal 201 ayat (9), UU N0 10 tahun 2006 tentang Pilkada disebutkan penjabat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota akan memimpin daerah hingga Pilkada serentak nasional pada tahun 2024 memilih kepala daerah definitif.
Frasa ini memberi makna selama dua setengah tahun ke depan, Aceh akan dipimpin pejabat, yang telah ditunjuk sesuai dengan ketentuan undang- undang yang berlaku.
Masa penjaringan calon Pj Gubernur Aceh ikut menyita perhatian berbagai kalangan di Aceh, mulai dari ulama, politisi, akademisi, dunia usaha hingga partai politik yang bermukim di Tanah Rencong.
Fase yang seperti ini menandakan kesadaran ‘politik’ yang kian meningkat.
Berbagai postingan dukungmendukung Pj Gubernur di media sosial, memberi kesan dan pendidikan politik yang baik untuk kita semua.
Tapi yang paling penting, sekarang semua harus kembali bersatu mendukung Pj Gubernur terpilih, dan menghilangkan ego kelompok untuk sama-sama berpikir dan bergerak guna keberlanjutan pembangunan Aceh yang lebih baik.
Respons aktif masyarakat Aceh perlu dimaknai sebagai geliat positif untuk memastikan Pj Gubernur yang ditunjuk adalah orang yang tepat serta berkomitmen dalam membangun Aceh.
Akar masalah Perhatian berbagai lapisan masyarakat di Aceh pada masa penjaringan Pj Gubernur juga menandakan adanya harapan besar, Pj Gubernur mampu menyelesaikan pelbagai persoalan yang telah akut.
Harapan ini bukanlah sesuatu yang muluk-muluk, sebab yang terpilih pasti salah satu putra terbaik bangsa.
Proses penunjukannya juga telah melewati proses profiling yang ketat, hingga Tim Penilaian Akhir (TPA) menemukan sebuah kata mufakat untuk mempercayakan seseorang menjadi penjabat kepala daerah.
Apalagi Pj Gubernur memiliki kedekatan dengan pemerintah pusat, ini menjadi modal besar dalam menyelaraskan berbagai persoalan pembangunan di Aceh.
Setidaknya ada 3 isu utama yang perlu menjadi perhatian dari PJ Gubernur Aceh.
Ketiga hal tersebut menyangkut pengentasan kemiskinan, perdamaian Aceh (kekhususan Aceh) dan Perpanjangan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh.
Ketiga isu utama di atas merupakan satu kesatuan dan terkait dengan berbagai masalah lainnya.
Fakta dan data tersebut lengkap tertuliskan dalam Rencana Pembangunan angka Panjang Aceh (RPJP Aceh 2012-2032), Rencana Pembangunan Aceh Jangka Menengah Aceh (RPJM Aceh 2017-2022), maupun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang selalu diperbaharui dan disusun setiap tahunnya.
Pertama, kemiskinan Aceh menempati provinsi termiskin di Sumatera serta berada di urutan kelima dari 34 provinsi se-Indonesia.
Angka kemiskinan Aceh per September 2021, Aceh berada pada angka 15.53 persen dengan jumlah 850.260 orang yang tercatat.
Bila diamati lebih mendalam, memang ada perbaikan dari posisi awal tahun 2017 yang pada saat itu angka kemiskinan sebesar 16,89 persen serta pernah mengalami penurunan yang positif di awal Maret 2020 yang berada di angka 14.99 persen (BPS, 2022).
Tapi angka kemiskinan Aceh hari ini, hampir sama dengan angka 22 tahun silam, yaitu di tahun 2000 kemiskinan Aceh di angka 15.20 persen.
Medio September 2020, dalam dokumen RKPA tahun 2022 disebutkan “pandemi Covid-19 ikut menyumbang 61.000 pekerja informal kehilangan pekerjaan di Aceh”.
Fakta ini juga memberikan PR baru kepada Pj Gubernur Aceh.
Kemiskinan merupakan isu yang kompleks serta multidimensi; lantaran dipengaruhi oleh berbagai aspek hingga menyebabkan seseorang jatuh dalam lubang kemiskinan.
Posisi miskin tidak pernah menjadi harapan setiap orang, tetapi kadang kondisi ini dialami oleh masyarakat lantaran ada kebijakan publik yang salah urus bahkan yang paling memprihatinkan kaburnya mata pemerintah dalam menjalankan program untuk kesejahteraan mereka.
Kedua, perdamaian Aceh harus menjadi perhatian yang serius dari Pj Gubernur Aceh.
Melahirkan perdamaian di Aceh bukanlah hal yang mudah.
Presiden RI Ke-6 Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan bahwa tindakannya dalam menangani konflik di Aceh tidak mudah, banyak suara dukungan dan penolakan atas keputusannya terkait penanganan konflik Aceh.
Namun, SBY tegas untuk tetap menghadirkan perdamaian di Bumi Serambi Mekkah.
Hal ini disampaikan dalam peluncuran buku Biografi Dipo Alam berjudul “Dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin”.
PR besar dalam merawat damai adalah komitmen implementasi Undang-Undang 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengalami berbagai hambatan.
Tidak jarang pula kadang lahir kebijakan nasional yang “dianggap” tidak selaras dengan UUPA.
Kondisi ini membuat kondisi politik di Aceh selalu memanas, bahkan ada anggapan “ada upaya dari pemerintahan pusat, untuk menggerus UUPA setiap saat”.
Pandangan ini membuat renggangnya hubungan Aceh dengan pusat.
Yang diperlukan hari ini adalah bagaimana mengisi ruh perdamaian itu sendiri dengan penyempurnaan berbagai regulasi dan implementasinya.
Ketiga, perpanjangan Dana Otonomi Khusus Aceh (Otsus Aceh).
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa dana Otsus akan berakhir pada tahun 2027.
Berdasarkan pasal 183 dan 258 UUPA jelas disebutkan; kebijakan alokasi Otsus Aceh sebesar 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional dari tahun 2008-2022 dan sebesar 1 persen mulai tahun 2023 hingga 2027.
Kondisi ini menggambarkan, pasca pemilu dan Pilkada 2024, hanya 3 tahun setelah itu dana Otsus Aceh sudah berakhir.
Faktanya kita bisa melihat ketimpangan pembangunan dan kemiskinan Aceh masih relatif tinggi.
Karena itu Pj Gubernur harus memimpin barisan perjuangan untuk perpanjangan dana Otsus.
Berkolaborasi Selama beberapa waktu terakhir, masyarakat Aceh dipertontonkan dengan “perang” antara Gubernur dan DPRA.
Padahal kolaborasi eksekutif dan legislatif adalah kunci menyelesaikan berbagai PR pembangunan Aceh.
Selain itu perlu juga menjalin hubungan yang harmonis dengan semua partai politik sebagai instrumen penting bangsa.
Para pemangku kebijakan harus berkoalisi dan mengedepankan kepentingan Aceh di atas segala-galanya.
Tidak ada jalan keluar yang lebih utama selain duduk bersama, berpikir bersama, bekerja sama dan bergerak seirama.
Selain itu, Pj Gubernur juga harus membuka ruang diskusi, siap menerima kritikan dan masukan dari semua elemen.
Kritikan dan masukan harus menjadi cambuk dalam kepemimpinan.
Karena “Haba mangat jeut keu peunyaket, haba saket jeut keu peunawa,” ungkapan Aceh ini dapat dimaknai ; bahwa tidak semua “kabar baik” akan mendatangkan kebaikan, sebaliknya terkadang kritikan pedas akan menjadi suplemen bagi orang-orang yang bijaksana.