Lhokseumawe – Kasus tindak kekerasan yang melibatkan kelompok remaja dengan menggunakan senjata tajam, dalam beberapa bulan terakhir di Lhokseumawe mengundang respon dari banyak pihak.
Kepala divisi psikologi Tandaseru Indonesia, Yusreida Yusuf, M.Psi, Psikolog, dalam wawancara dengan media ini menyebutkan kasus kekerasan yang melibatkan anak atau remaja tidak boleh dilihat hanya dari permukaannya saja.
“Ya, ada banyak faktor yang memicu perilaku kekerasan anak remaja seperti dalam beberapa kasus di Lhokseumawe. Tidak boleh hanya melihat kesalahan si remaja, sebab itu hanyalah permukaan”
Yusreida, psikolog klinis anak ini menguraikan bahwa, untuk mengetahui apa penyebab yang mendorong perilaku kekerasan tersebut, maka kita harus flashback secara utuh latar belakang si pelaku.
“Pola asuhnya bagaimana, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun pengalaman pengalaman dalam kehidupan remaja yang terlibat dalam tawuran dengan senjata tajam itu”.
Dari beberapa kasus yang pernah ditangani pada divisi psikologi Tandaseru, pengalaman kekerasan dalam keluarga atau di lingkungan sosial menjadi faktor pemicu remaja melakukan tindak kekerasan, sebut Yusreida.
“Latar belakang pendidikan orangtua yang rendah, pola asuh salah dalam keluarga, misalnya anak besar sendiri tanpa sentuhan kasih sayang orangtuanya, itu menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku remaja”
Melihat usia pelaku antara 14-17 tahun, artinya itukan masa masa anak mencari jati diri (pancaroba).
“Anak di rentang usia tersebut sedang berusaha mendapatkan pengakuan dari lingkungan, hanya saja pengakuan tersebut dia dapatkan dari lingkungan sosial yang keliru, sehingga mendorong mereka berperilaku menyimpang juga”, terang Yusreida.
Perilaku kekerasan remaja tersebut ditambah lagi oleh faktor media sosial yang loss sensor terhadap video video kekerasan yang begitu gampang dan vulgar dibagikan oleh pengguna sosial media tanpa rasa bersalah.
“Sehingga anak yang tidak punya basic moral dan nilai agama yang kuat, akan mudah terdorong melakukan kekerasan serupa akibat terstimulasi tontonan kekerasan yang sering dan berulang ulang dilihatnya”
Ditempat terpisah, kepala cabang dinas pendidikan Kota Lhokseumawe, Supriariadi, S.Pd, saat menjadi narasumber talkshow RRI (31/1/2023), menyebutkan kasus tersebut mesti menjadi tanggungjawab semua pihak, termasuk pelaku usaha, bukan hanya dunia pendidikan semata.
“Karna tanggung jawab pendidikan anak itu bukan hanya beban sekolah dan gurunya, peran orangtua di rumah dalam menanamkan nilai nilai moral dasar sangat penting untuk membentuk karakter remaja”
Disisi lain, adanya produk yang membatasi ruang gerak, seperti pemberlakuan jam malam bagi anak, memperketat sanksi sosial berbasis kearifan lokal perlu digalakkan.
“Hal itu perlu didorong untuk kembali dihidupkan ditengah kehidupan sosial masyarakat Aceh saat ini, namun harus menjadi kesadaran dan kesepakatan kolektif agar bisa terwujud”, pungkas Supriariadi. (*)