Jakarta – Pada saat ini, kita memiliki para prakirawan cuaca di BMKG yang menganalisis dan membagikan potensi cuaca besok. Pekerjaan para prakirawan cuaca didukung oleh alat-alat canggih seperti pendeteksi petir, radar cuaca dan lain-lain.
Tanpa adanya alat-alat canggih tersebut, bagaimana orang zaman dahulu membuat prakiraan cuaca?
Membaca langit
Seni prakiraan cuaca telah dimulai sejak peradaban awal menggunakan kejadian-kejadian astronomis dan meteorologis yang berulang.
Pada tahun 650 Sebelum Masehi (SM), orang-orang Babilonia mencoba memprediksikan perubahan cuaca jangka pendek berdasarkan penampakan awan dan fenomena optis seperti halo matahari, serta simbol-simbol astrologi.
Kemudian pada 340 SM, filsuf Aristoteles menulis Meteorologica berjumlah empat volume yang berisi teori-teorinya mengenai cuaca dan iklim. Beberapa dari teori ini ada yang benar, misalnya tentang siklus hidrologik Bumi; namun ada banyak juga yang salah.
Meski demikian, selama 2000 tahun lamanya, keempat volume Meteorologica ini dijadikan panduan prakiraan cuaca oleh orang zaman dahulu.
Richard Whitaker, seorang pakar meteorologi di Biro Meteorologi Australia, berkata bahwa orang zaman dulu, seperti orang-orang Babilonia dan Aristotees, mencoba untuk memprediksikan cuaca dengan “membaca langit”.
Salah satu contohnya adalah pepatah “ekor kuda dan sisi makarel membuat kapal-kapal yang tinggi membawa layar rendah”.
Pada masa kini, kita telah tahu bahwa “ekor kuda” adalah awan sirostratus sedangkan “sisik makarel” adalah awan altokumulus. Kedua awan ini diasosikan dengan datangnya cold front, fenomena yang sering kali ditandai dengan badai besar yang mengharuskan kapal-kapal untuk menurunkan layarnya.
Munculnya teknologi-teknologi baru
Perubahan baru mulai terjadi pada abad ke-16 dan 17, ketika berbagai instrumen untuk mengukur unsur-unsur cuaca mulai dikembangkan.
Contohnya antara lain Galileo Galilei yang mengembangkan termometer yang lebih akurat, serta Evangelista Toricelly yang menciptakan barometer untuk mengukur tekanan atmosfer.
Akan tetapi, ilmu prakiraan cuaca yang ilmiah baru mulai berkembang pada abad ke-19 ketika industri perkapalan dan tentara kelautan mulai berkembang juga.
Kristine Harper, profesor sejarah ilmu bumi di University of Copenhagen, berkata bahwa pada abad ke-19, orang-orang mulai merekam temperatur dan tekanan udara, serta mencoba untuk mensistemkannya sebagai upaya untuk memprediksi cuaca.
Terobosan besar lainnya pada abad ke-19 adalah terciptanya telegraf elektrik dan jaringannya. Ini membuat para ilmuwan pada masa itu bisa mengamati bagaimana sistem cuaca berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara real time.
Stasiun-stasiun pengamatan cuaca juga mulai bermunculan di berbagai belahan dunia pada masa ini.
Perang Dunia
Perkembangan teknologi memang membuat ilmu prakiraan cuaca berkembang pesat. Namun, hingga abad ke-19 para pakar masih tidak bisa menjelaskan bagaimana dan kenapa cuaca berpindah dan berubah.
Baru pada abad ke-20, pakar meteorologi Norwegia Vilhelm Bjerknes dan kolega-koleganya berhasil menemukan persamaan matematika yang mengatur perkembangan dan pergerakan sistem-sistem di atmosfer.
Prakiraan cuaca numerik kemudian semakin berkembang pada masa Perang Dunia I dikarenakan banyaknya penggunaan pesawat dalam perang yang sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Satelit cuaca di luar angkasa baru ada setelah Perang Dunia II. Alat canggih ini membantu para pakar meteorologi mengamati pergerakan sistem badai dan atmosfer Bumi.
Berkat seluruh perkembangan-perkembangan teknologi, matematika dan ilmu sains, barulah ada ilmu prakiraan cuaca seperti yang kita kenal sekarang.