Jakarta – Harga mayoritas kripto utama kembali terkoreksi pada perdagangan Selasa (12/7/2022), menandakan bahwa investor masih belum ingin mempertahankannya dalam waktu yang lebih lama dan menjualnya ketika harganya sudah naik.
Melansir data dari CoinMarketCap pada pukul 09:05 WIB, Bitcoin merosot 3,2% ke harga US$ 19.904,07/koin atau setara dengan Rp 298.162.969/koin (asumsi kurs Rp 14.980/US$), sedangkan Ethereum ambrol 5,35% ke posisi US$ 1.091,66/koin atau Rp 16.353.067/koin.
Sedangkan beberapa koin digital (token) alternatif (alternate coin/altcoin) seperti Dogecoin ambruk 6,35% ke US$ 0,06204/koin (Rp 929/koin), Solana ambles 5,03% ke US$ 33,81/koin (Rp 506.474/koin), dan Cardano tergelincir 4,64% ke US$ 0,4377/koin (Rp 6.557/koin).
Bitcoin kembali diperdagangkan di bawah zona psikologis US$ 20.000 atau tepatnya di kisaran US$ 19.000 pada hari ini. Selama sebulan terakhir, Bitcoin telah diperdagangkan dalam kisaran antara US$ 17.000 hingga US$ 23.000. Beberapa analis kripto bertanya-tanya apakah aksi jual besar terburuk tahun ini telah berakhir atau masih akan berlanjut.
“Kami telah mendengar perkiraan serendah US$ 8.000 per bitcoin, tetapi kita mungkin telah melihat bagian bawahnya,” tulis Mati Greenspan, pendiri perusahaan analisis crypto dan valuta asing Quantum Economics, dikutip dari CoinDesk.
“Prospeknya hanya menjadi lebih baik ketika kita menyadari bahwa skenario terburuk mutlak mungkin tidak terlalu mungkin,” tambah Greenspan.
Sementara itu menurut Edward Moya, analis pasar senior di Oanda, meski investor masih pesimis, tetapi perjuangan Bitcoin sudah cukup baik setelah kripto terbesar itu berjuang untuk bertahan di zona psikologis US$ 20.000.
“Terlepas dari semua pesimisme dan berita utama negatif untuk Bitcoin, fakta bahwa Bitcoin berjuang di level US$ 20.000 adalah tanda yang menjanjikan,” kata Moya, dilansir dari CoinDesk.
Sentimen pasar global yang masih cenderung negatif membuat pasar kripto tidak dapat menanjak cukup jauh karena investor masih tidak ingin berlama-lama mempertahankannya.
Hal ini karena mereka masih khawatir dengan potensi resesi yang akan terjadi di Amerika Serikat (AS), dan tentunya berdampak ke negara-negara lainnya.
Di AS, sinyal resesi kembali muncul. Pembalikan kurva imbal hasil atau inverted yield curve kembali terjadi pekan ini. Secara historis, pembalikan kurva imbal hasil menjadi leading indicator bahwa ekonomi AS akan segera memasuki resesi.
Kemungkinan resesi di AS disebabkan karena laju inflasi yang sangat tinggi dan juga pengetatan kebijakan moneter yang agresif.
Likuiditas yang terserap di sistem keuangan membuat investor mencemaskan bahwa output perekonomian Negeri Paman Sam akan mengalami kontraksi.
Di lain sisi, investor di pasar kripto juga menanti rilis data terbaru dari inflasi AS pada periode Juni 2022. Inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) yang akan dirilis pada Rabu besok diprediksi naik melewati level inflasi pada Mei yang saat itu di angka 8,6% atau tertinggi dalam 41 tahun terakhir.
Selain itu, investor juga cenderung mengkhawatirkan kondisi pandemi virus corona (Covid-19) di China yang kembali memburuk dan dapat mempengaruhi kembali ekonomi China.
Subvarian baru Covid-19 BA.5 dilaporkan sudah ditemukan di Shanghai. Selain Shanghai, Macau sebagai pusat perjudian di kawasan Asia juga memilih untuk tutup seiring dengan peningkatan kasus Covid-19.
Pandemi Covid-19 memang berasal dari China dan kini kembali merebak di China. Terkait Covid-19, pemerintah China punya langkah tegas dalam menangani wabah lewat kebijakan nol-Covid.
Kebijakan tersebut biasanya dibarengi dengan karantina wilayah (lockdown). Selama lebih dari 2 tahun pandemi berlangsung, adanya lockdown telah memberikan pukulan ganda bagi perekonomian China, baik dari sisi supply dan demand.